Kontrak haruslah dibuat sejelas-jelasnya (crystal clear) meskipun secara umum ketentuan-ketentuan dalam kontrak dapat dibedakan menjadi dua yaitu ketentuan yang tertulis (express terms) dan ketentuan yang tersirat (implied terms). Terdapat 2 (dua) jenis implikasi mengenai ketentuan tersirat ini, yaitu:
- Beberapa ketentuan akan dianggap sudah tersirat secara hukum (yaitu kewajiban tersirat pemilik proyek dan kontraktor),
- Ketentuan tersebut sesungguhnya tersirat (ke dalam sebuah kontrak dimana kontrak tersebut tidak akan dapat berfungsi tanpa adanya ketentuan tersebut).
Pembatasan terhadap ketentuan-ketentuan tersirat telah dijelaskan dalam kasus BP Refinery (Westernport) Property Ltd v. Shire of Hastings (1978), yang menyatakan bahwa agar sebuah ketentuan dianggap tersirat maka beberapa kondisi berikut (yang mungkin tumpang tindih) harus terpenuhi:
- Ketentuan tersebut haruslah masuk akal dan adil (reasonable and equitable);
- Ketentuan tersebut diperlukan untuk memberikan keberhasilan bisnis ke dalam kontrak. Dengan demikian tidak ada ketentuan tersirat apabila sebuah kontrak sudah efektif tanpa adanya ketentuan tersirat itu;
- Ketentuan tersebut sudah sangat jelas sehingga “tidak perlu dijelaskan lagi”;
- Ketentuan tersebut harus dapat memberikan ungkapan sedekat mungkin;
- Ketentuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketentuan tertulis apapun di dalam kontrak.
Terlepas dari perbedaan tersebut, kedua jenis istilah ini haruslah jelas dalam pengertiannya. Istilah-istilah dan bahasa yang digunakan dalam kontrak tidak boleh ambigu atau memiliki makna ganda. Apabila bahasa dan istilah dalam kontrak ambigu, maka perlu dilakukan penafsiran kontrak. Hal ini telah diatur dalam Pasal 1342 sampai 1351 KUH Perdata perihal penafsiran persetujuan.
Pasal 1342 berbunyi: “jika kata-kata suatu persetujuan jelas, tidak diperkenankan menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.”
Pasal 1343 berbunyi: “jika kata-kata suatu persetujuan dapat diberi berbagai penafsiran, maka lebih baik diselidiki maksud kedua belah pihak yang membuat persetujuan itu, daripada dipegang teguh arti kata menurut huruf.”
Pasal 1344 berbunyi: “jika suatu janji dapat diberi dua arti, maka janji itu harus dimengerti menurut arti yang memungkinkan janji itu dilaksanakan, bukan menurut arti yang tidak memungkinkan janji itu dilaksanakan.”
Pasal 1345 berbunyi: “jika perkataan dapat diberi dua arti, maka harus dipilih arti yang paling sesuai dengan sifat persetujuan.”
—— dikutip dari buku MANAJEMEN KONTRAK KONSTRUKSI – Pedoman Praktis dalam Mengelola Proyek Konstruksi oleh Seng Hansen, Gramedia (Mei 2015)